Labirin Setan
Sepertinya malam ini bintang-bintang sedang tidak ingin berpesta. Mugkin meraka sedang lelah atau mungkin mereka malu padaku karena sedari tadi aku mengintip mereka dari balik jendela kamar. Aroma angin yang berhembus menambah dingin keadaan malam ini. Rasanya seperti di kutub utara.
Malam ini aku sedang berada di rumah nenek, aku sedang berlibur selama dua minggu karena aku baru saja menyelesaikan Tes Akhir Semester. Sebentar lagi aku akan menginjakkan kakiku di bangku kelas sembilan. Liburan ke rumah nenek sudah biasa menjadi tradisi keluargaku setiap tahunnya. Nenekku tinggal sendirian, kakekku telah lama meninggal, sekitar lima tahun yang lalu.
Greekk!! Ibuku membuka pintu kamar. “Luna, cepat tidur, sudah malam!”
“Iya, Bu...! Sebentar lagi..!” ujarku sembari menyelesaikan game kesayanganku.
Ibuku langsung meninggalkan kamar dan menutup pintu perlahan. Sekarang sudah pukul sebelas, aku masih belum bisa tidur. Mungkin udara yang dingin ini telah menjadi racun yang merasuk kedalam tubuhku dan memberikan instruksi kepada otak besarku agar aku terjaga semalaman.
“Huaahh,” aku menguap lebar.
Entah setan apa yang telah merasukiku tadi malam sehingga aku bisa tidur senyenyak itu. Pagi ini aku sedang bersih-bersih bersama ayahku, nenek dan ibuku sedang memasak hidangan untuk sarapan. Tiba-tiba paman Sam datang, ia datang bersama dengan isterinya, bibi Sam. Dan ternyata Rio dan Vanny juga ikut. Mereka juga akan menginap disini untuk liburan. Aku merasa senang sekali karena aku menjadi tidak kesepian. Rio adalah sepupuku dan Vanny adalah adiknya. Selisih umur mereka 3 tahun sedangkan selisih umurku dan Rio adalah 2 tahun. Vanny mengajak aku dan Rio untuk bermain petak umpet.
“Yes... Kak Rio yang jaga! Ayo Kak Luna kita sembunyi!” teriak Vanny bersemangat.
“5......4......3......2......1......!” teriak Rio sambil menutup matanya.
Aku dan Vanny bersembunyi di bawah tempat tidur dimana aku tidur tadi malam. Vanny berisik sekali sehingga aku terpaksa membungkam mulutnya. Rio mulai memasuki kamar, aku takut kalau kami ketahuan sehingga aku bergeser merapatkan diri disamping Vanny. Saat aku bergeser, lantai dibawahku terasa beregetar.
“Eh? Kenapa lantainya bisa bergeser?” tanyaku kaget.
“Mana, Kak?” tanya Vanny penasaran.
Ternyata suara Vanny yang nyaring membuat kami dapat ditemukan oleh Rio. Akhirnya Rio ikut nimbrung dengan apa yang aku bicarakan dengan Vanny. Kami bertiga mencoba mengangkat lantai itu perlahan. Cukup berat namun akhirnya kami mampu mengangkatnya. Lantai itu berukuran satu meter persegi. Kami tersentak kaget, ternyata dibalik lantai itu terdapat ruangan dibawahnya. Selain itu terdapat anak tangga untuk menuju kedalamnya. Aku merasa heran sekali, kenapa nenek dan yang lainnya tidak pernah tahu kalau ternyata terdapat ruang bawah tanah di bawah rumah ini. Apakah kakek mengetahui hal ini? Ataukah tak ada seorangpun yang mengetahui hal ini? Tanyaku dalam hati. Vanny dan Rio penasaran, mereka ingin mencari tau apa yang ada di dalamnya. Rio mencoba memasukkan kepalanya kedalam lubang itu tapi ia tak mampu melihat apa yang ada di dalamnya karena keadaan didalam sana gelap sekali.
“Jangan, sepertinya berbahaya!” ujarku mengingatkan mereka. Mereka menurut saja padaku karena disini aku yang tertua. Bisa dibilang aku adalah pimpinan mereka.
Malam harinya, keluargaku dan keluarga paman Sam berkumpul bersama nenek di ruang tengah. Mereka membicarakan berbagai macam hal dan bercanda bersama. Mungkin karena mereka jarang bertemu sehingga mereka mencoba untuk melepaskan kerinduan mereka. Di tengah itu, tiba-tiba saja Vanny menarik tanganku dan juga Rio. Ia membawa kami ke kamar dimana terdapat pintu rahasia menuju ruang bawah tanah. Disana ia membicarakan masalah ruang bawah tanah itu. Ia memohon padaku agar aku menijinkannya masuk kedalam sana. Kemudian kami berunding untuk membicarakan hal itu. Akhirnya kami sepakat untuk memasuki ruangan itu besok pagi.
“Begini, kalian tidak boleh menceritakan hal ini ke siapapun! Setuju?”
“Setuju, Kak!” jawab Rio dan Vanny serentak.
Keesokan harinya kami sudah bersiap-siap dan membawa peralatan seadanya seperti senter, botol minum, dan korek api. Kami mulai membuka lantai tersebut, Rio turun ke bawah terlebih dahulu.
“Didalam luas sekali. Cepat turun!” teriak Rio.
Vanny mulai menuruni anak tangga perlahan kemudian diikuti oleh aku. Setelah sampai di dalam aku mulai menyalakan senter.
“Hah?” teriakku kaget.
Ternyata di dalam sana luas sekali, lebih luas dari rumah nenek yang ada diatasnya. Aku menebak kalau bangunan itu buatan Belanda, terlihat sekali dari arsitekturnya. Kami mulai mengarahkan senter ke bagian dinding, aku mendapati tulisan yang berbunyi Jaar 1905. Mungkin itu tanggal pembangunan ruangan ini. Dindingnya pun sudah berlumut dan terlihat tua sekali namun masih sangat kuat.
“Sepertinya ruangan ini merupakan gudang penyimpanan dan jalan pintas menuju suatu tempat” kataku sambil menunjuk pintu yang ada disana.
Rio berjalan didepan diikuti Vanny kemudian aku. Saat kami mau masuk ke pintu itu, ternyata di seberang sana ada pintu lagi. Kami memilih pintu yang menuju ke arah selatan. Setelah itu kami sampai disebuah ruangan yang terdapat banyak sekali senjata. Di dalam sana terdapat tiga pintu berjajar, kami sepakat memilih pintu yang berada di bagian tengah. Di ruang yang selanjutnya terdapat dua pintu, yang satu ke arah timur dan yang satunya lagi menuju ke arah barat. Setelah itu, kami memilih pintu seenaknya saja. Tanpa sadar kami telah berjalan jauh sekali, sekitar tiga kilometer, aku tak menyangka kalau ruang bawah tanah ini seluas itu.
“Vanny...Rio... kita sudah berjalan jauh sekali. Aku takut kalau kita tersesat!” ujarku waswas.
“Bagaimana ini? Aku takut, Kak!” ujar Vanny sambil mendekatiku.
“Bodohnya aku! Kenapa aku tadi tidak membawa sesuatu untuk meninggalkan jejak kita!” kata Rio menyesal.
Kami terduduk di ruangan itu, kami bingung akan berbuat apa. Rio terlihat sedang terduduk sambil memegangi kepalanya, mungkin ia menyesal belum mempersiapkan semuanya matang-matang. Vanny terlihat berkaca-kaca, aku takut kalau dia akan menangis, aku mendekatinya kemudian memeluknya. Kami bingung akan melakukan apa, kalau melanjutkan perjalanan, kami akan semakin tersesat. Kalau kembali, itu sama saja karena kami sama sekali tidak mengetahui jalan yang kami lalui tadi. Aku rasa kami telah terjebak dalam labirin ini dan kami menyebutnya labirin setan karena telah menyesatkan kami.
Tiba-tiba, sreeek....sreeek......sreeek.....
Terdengar suara seperti langkah kaki, suaranya terdengar dari balik pintu yang ada di hadapan kami, bahkan kami sudah tidak tau lagi itu arah kemana. Kami mencoba memasuki pintu itu, di dinding sebelah kanannya pintu itu terdapat tulisan berbunyi rechte weg. Aku tidak tau apa artinya, kami nekat saja masuk ke ruangan itu. Ternyata itu hanya suara aliran air, di sana terdapat sumber mata air. Karena kami sangat haus, kami terpaksa meminumnya. Lagipula airnya segar dan jernih.
“Kita kan sudah janji, apapun yang terjadi itu tanggung jawab kita bersama. Ayo kita lanjutkan perjalanan!” seruku meyakinkan.
“Benar, Kak! Ayo...! berdiam diri tak akan mampu menyelesaikan masalah!” sahut Rio.
Aku heran dengan Vanny, ia masih tertunduk, ia terlihat tidak bersemangat. Rio sudah mulai berjalan di depan, aku langsung mengikutinya dan menggandeng Vanny mengajaknya berjalan. Saat aku menengok ke samping, aku melihat Vanny dengan pipinya telah basah oleh air matanya. Aku tidak tega melihatnya. Kami mulai menyusuri jalanan, setelah 10 menit kami tiba di sebuah ruangan yang ternyata jalan buntu. Disana kami mengamati keadaan sekitar, hanya ada binatang-binatang kecil, seperti kecoa, kelelawar, dan nyamuk.
“Lihat itu, Kak!” teriak Vanny sambil menunjuk atap diatasnya.
Aku senang sekali akhirnya ia mau bersuara. Ternyata yang ditunjuk Vanny adalah sebuah peti dan sepertinya itu adalah peti harta karun. Rio mencoba melompat untuk meraihnya dan akhirnya ia mendapatkannya. Ternyata peti tersebut ringan sekali, seperti tidak ada isinya. Peti itu tidak bisa dibuka karena terkunci tapi kami tetap saja ingin membawanya pulang dan Rio bertugas membawa peti itu.
“Kak, aku lapar sekali!” ujar Vanny.
“Aku juga, Van!” sahut Rio.
“Aku juga lapar, pasti orang tua kita sedang mencari-cari kita! Ayo kita pulang!”
Rio dan Vanny menganguk tanda setuju. Kami mencoba melewati jalanan yang tadi kita lalui, kami juga mencoba untuk mengingat-ingatnya.
“Aaaaaaaaaaaaaa......ada ular!!!!!” teriak Vanny.
Rio yang melihatnya langsung melempari dan memukuli ular itu dengan sepatunya. Setelah kejadian itu, kami semakin berhati-hati. Akhirnya kami tiba di ruangan yang terdapat mata airnya, kami meminum lagi airnya karena kami benar-benar kehausan. Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan dan kami semakin bingung untuk memilih jalan. Saat kami telah berjalan cukup jauh, kami malah kembali ke tempat mata air itu berada. Kami tidak lengah, kami tetap berusaha mencoba-coba jalan. Tibalah kami di sebuah ruangan dimana terdapat banyak sekali bebatuan, padahal tadi kita tidak melewati ruangan yang ada batuannya tapi kita tetap yakin kalau jalan itu benar. Setelah itu kami masuk ke sebuah ruangan yang terdapat genangan airnya, tingginya se mata kakiku. Setelah lama berjalan, kami hanya merasa berputar-putar saja. Saat kami mulai mencari jalan yang berlainan lagi, tibalah kami di sebuah ruangan yang terdapat penjara jongkok. Disana aku merasa merinding sekali, begitu juga yang lainnya. Di sana kami mencium bau-bauan yang tak sedap, karena kami sangat takut kami cepat-cepat meninggalkan ruangan itu. Di saat kami melanjutkan perjalanan, aku tersandung sehingga terjatuh tengkurap. Kakiku berdarah di bagian lutut dan senterku terjatuh sehingga tidak bisa menyala lagi. Untung saja aku masih bisa berjalan dan senter milik Vanny dan Rio masih menyala terang. Setelah 20 menit berlalu, akhirnya kami sampai di ruang senjata. Aku masih ingat betul ruangan itu dan itu adalah ruangan yang pertama kali kami jumpai pada saat pertama masuk. Aku semakin yakin kalau sebentar lagi kami sampai dan akhirnya kami berseru bahagia. Ternyata benar! Itu jalan keluarnya!
“Yeeeeeyyyyyy...!!!!” teriak Vanny kegirangan.
Aku tak menyangka kalau kita akan berhasil kembali. Kami benar-benar bersyukur bisa selamat. Kami mulai menaiki tangga untuk naik ke atas. Sesampainya di rumah, kami langsung mencari orang tua kami dan memeluk mereka. Mereka terheran-heran dan penasaran dengan apa yang telah terjadi. Rio kemudian memberikan peti itu kepada nenek.
“Dimana kalian menemukan ini?” tanya nenek heran.
“Em.. di ruang— aw, sakit!” teriak rio.
Aku menginjak kakinya. Aku tak ingin mereka tahu semua ini.
“Lunaaaa...! jawab jujur! Apa yang telah terjadi?” tanya nenek dengan nada galak.
“Emm.. kami menemukan peti itu di ruang bawah tanah di bawah kamar tempatku tidur.”
“Ruang bawah tanah?” tanya nenek.
Semuanya terbelalak.
“Iya...!”
Mereka kemudian memeriksanya ke kamarku, ternyata tidak ada apa-apa. Lantainya pun masih tertutup rapat, kami bertiga heran. Aku tidak tau dengan apa yang telah terjadi dan tiba-tiba saja nenek mengeluarkan kunci, ia membuka peti itu.
“Peti ini milik kakek!”
Ternyata peti tersebut berisi lukisan nenek dan kakek, topi milik kakek, dan juga terdapat surat cinta kakek kepada nenek. Nenek tersenyum kepadaku, aku tidak tau apa artinya.
“Rio.. Vanny... Apakah aku bermimpi? Apakah kalian juga mengalaminya?”
Rio dan Vanny terlihat bingung dan mereka hanya menganggukkan kepala. Ajaibnya lagi.... lukaku hilang sama sekali, kembali seperti dulu lagi.
“Sudah.. kalian terlalu banyak berkhayal. Ayo kita makan siang!” ajak ibu.
Aku, Vanny, dan Rio menurut saja dan masih tidak mengerti dengan apa yang telah terjadi. Lantas kami menyebut tempat itu dengan 'labirin setan’.
Komentar
Posting Komentar