Kelana
Mali, membersihkan sepatunya yang
kotor kemasukkan pasir. Ia mendongakkan kepalanya ke atas sambil menyipitkan
matanya. Sorot mentari terlalu terik menyilaukan mata. Di sebelahnya, kuda
jantan berwarna cokelat nampak gusar. Mali kemudian meminggirkan kudanya ke
bawah pohon. Lalu ia kembali duduk menyenderkan kepalanya di bawah pohon itu.
Ia telah menempuh perjalanan selama sepuluh hari. Perjalanan menuju suatu
negeri untuk menyusul pamannya yang berdagang di sana. Ia telah dijanjikan untuk
diajari berdagang oleh pamannya. Orang tuanya pun mengizinkannya pergi seorang
diri.
Mali membuka ranselnya yang sudah
lusuh itu, melihat perbekalan yang masih tersisa. Sepertinya perbekalannya
telah habis. Hanya tersisa satu botol air untuknya. Ia tak menyangka,
perbekalannya telah habis, bahkan belum setengah perjalanan. Sedangkan
negeri yang ia tuju masih sangat jauh dari sana. Masih sekitar lima belas hari
lagi ia akan tiba. Jika ia melanjutkan perjalanan, bisa-bisa kudanya kehausan
dan mati di tengah jalan.
Mali nampak berpikir cukup lama.
Ia gundah lantaran keputusannya untuk terus melanjutkan perjalanan, atau
kembali pulang ke rumahnya. Beberapa lama kemudian, Mali bergegas, ia melepas
ikatan pada kudanya, lalu menaiki kudanya. Dengan segera si kuda mulai
melangkahkan kakinya, pelan-pelan seirama dengan tarikkan tali di lehernya. Ia
mengambil keputusan untuk tetap melanjutkan perjalanan. Mengadu nasibnya,
berharap sebuah ketidakpastian di depan. Kudanya telah benar-benar kehausan. Ia
harus segera diberi minum. Mali pasrah, ia berharap tiba-tiba turun hujan. Di
hari yang terik seperti ini, nampaknya harapannya telah pupus.
Setelah sekitar satu hari
berjalan, Mali dan kudanya akhirnya tiba di daerah perkampungan. Dilihatnya
para pedagang yang menjajakan makanan di pinggir-pinggir jalan. Tetapi
percuma, ia tak memiliki uang. Uangnya telah habis untuk membeli beberapa
perbekalan di perkampungan sebelumnya. Ia mengitari perkampungan itu, tak
menemukan satu pun sumber air yang bisa diminum. Akhirnya ia berhenti pada
gubuk kosong, duduk, mengasihani diri sendiri yang tak lagi memiliki apapun,
kecuali kudanya. Ia menyesali keputusannya untuk tetap melanjutkan perjalanan.
Malam hari tiba. Mali tersentak,
bangkit dari rebahnya. Tiba-tiba saja kudanya meringkik di luar gubuk. Ia
berlari ke luar untuk melihat apa yang terjadi. Ternyata ada dua orang sambil
menaiki kudanya masing-masing, menghampiri gubuknya. "Untukmu, kami ingin
melanjutkan perjalanan, tetapi kami kelebihan barang bawaan." Belum sempat
Mali membuka mulutnya untuk mengucap terima kasih, dua orang tersebut langsung
memacu kudanya, pergi bergegas. Ia masih bingung, tidak percaya dengan apa yang
baru saja terjadi. Lantas ia membuka bungkusan yang diberikan dua orang tadi.
Ada air dan beberapa makanan. Bahkan mungkin cukup untuk persediaan selama
seminggu.
Ia terduduk lemas, senang
bercampur haru. Mali lantas kembali memikirkan arti perjalanannya tadi. Pada
perjalanan itu, ia lupa. Ia memang tak memiliki apapun. Bahkan tak mengetahui
apapun di depan sana. Tetapi ia memiliki Sang Pencipta yang senantiasa
memberikan rezekinya bagi siapa saja.
Ia semakin mantap untuk
melanjutkan perjalanannya. Meskipun perbekalannya akan kembali habis. Ia tak
lagi takut. Ia tak lagi menyesali perjalanannya. Baginya, dunia terlalu kecil
jika tak pernah kemana-mana. Terkadang, semakin jauh kita berkelana, justru
semakin besar rasa syukurnya.
Komentar
Posting Komentar