Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2021

Tertunduk

Pagi ini tubuhku terasa lemas. Hoam. Mulutku menganga sembari cepat-cepat menutup mulut dengan tanganku. Malas melakukan apapun.  Toh ini hari libur. Saatnya bersantai. Gumamku dalam hati.  Lalu aku pergi ke dapur, mencari-cari sesuatu untuk mengganjal perut. Lalu kutemukan satu buah alpukat yang sudah masak. Lantas kupotong-potong, kutaruh di piring kecil, kubawa ke teras rumah sambil duduk-duduk di depan. Tidak lupa aku mengambil air hangat dari dispenser.  Hari ini sungguh merepotkan. Pak Bos memintaku untuk mengirimkan hasil pekerjaannya hari ini. Aku kesal sekali. Bahkan ketika hari libur pun masih saja ada gangguan. Sejenak aku ingin melupakan semua deadline tugas-tugas dari kantor. Bahkan ponselku sengaja kumatikan agar tak ada yang menelepon dan menggangguku.  Tugas dari Bos, biarlah, aku tak peduli lagi. Selama seminggu ini aku sudah bekerja habis-habisan. Pokoknya aku tak mau ada yang menggangguku hari ini!. Kulihat di seberang jalan, seorang kakek m...

Semestinya Sahaya

Diciptakan sebagai satu-satunya makhluk yang paling cerdas di antara semua yang ada. Menjadi satu-satunya yang berdaya di atas semuanya. Memiliki hati untuk bisa merasakan. Memiliki akal yang sempurna. Melakukan apapun yang disukainya. Namun nyatanya kamu makhluk paling rapuh di dunia. Makhluk yang justru mudah merasa sedih dan hampa. Makhluk yang terkadang salah menempatkan nafsunya. Mampu membedakan mana benar buruk, namun tetap saja kadang membuta.  Menjadi yang paling disempurnakan, tapi paling banyak keluhnya. Sungguh malang si manusia.  Istirahatkanlah sejenak pikiranmu. Barangkali pikiranmu hanya sedang lelah atas semua tumpukan permasalahan. Kamu hanya perlu waktu untuk bisa berpikir lebih jauh. Berhentilah sejenak, kamu hanya perlu jeda. Barangkali dengan adanya jeda, mampu membuka pikiranmu menjadi lebih leluasa.  Barangkali selama ini kamu hanya sebatas menerka-nerka. Menyakiti perasaanmu dengan pikiran tergesamu itu.  Kamu lupa, bukankah kita sejatin...

Kelana

Mali, membersihkan sepatunya yang kotor kemasukkan pasir. Ia mendongakkan kepalanya ke atas sambil menyipitkan matanya. Sorot mentari terlalu terik menyilaukan mata. Di sebelahnya, kuda jantan berwarna cokelat nampak gusar. Mali kemudian meminggirkan kudanya ke bawah pohon. Lalu ia kembali duduk menyenderkan kepalanya di bawah pohon itu. Ia telah menempuh perjalanan selama sepuluh hari. Perjalanan menuju suatu negeri untuk menyusul pamannya yang berdagang di sana. Ia telah dijanjikan untuk diajari berdagang oleh pamannya. Orang tuanya pun mengizinkannya pergi seorang diri.  Mali membuka ranselnya yang sudah lusuh itu, melihat perbekalan yang masih tersisa. Sepertinya perbekalannya telah habis. Hanya tersisa satu botol air untuknya. Ia tak menyangka, perbekalannya telah habis, bahkan belum setengah perjalanan. Sedangkan  negeri yang ia tuju masih sangat jauh dari sana. Masih sekitar lima belas hari lagi ia akan tiba. Jika ia melanjutkan perjalanan, bisa-bisa kudanya kehausan ...

Dua Enam

Suatu hari itu, ponselku berdering singkat. Satu pesan  whatsapp masuk. Lalu kubuka layar ponselku. Terlihat satu poster bertuliskan 30 Days Writing Challenge  (30 DWC) yang dikirim oleh temanku. Tulisan yang tidak asing buatku. Tulisan yang biasa diposting beberapa temanku di sosial media.  Dengan poster itu, temanku lantas mengajakku untuk mengikuti challenge  tersebut. Sudah tentu aku menolaknya. Bagiku, kegiatan ini hanyalah untuk orang-orang yang telah piawai menulis saja. Untuk mereka-mereka yang ingin mengembangkan tulisan-tulisannya. Untuk orang-orang yang telah layak dibaca tulisannya. Sedangkan aku, bukanlah orang yang seperti itu. Hampir-hampir aku tak pernah menulis. Bahkan, membuat tulisan di media sosial pun jarang. Beberapa waktu kemudian, aku berubah pikiran. Tiba-tiba saja aku meng-iyakan ajakan temanku itu. Kupikir, tak ada salahnya kucoba. Toh, aku hanya akan ikut sekadarnya saja. Gagal, tak masalah . Pikirku waktu itu. Beberapa hari kemudian,...

Hal yang Tak Pernah Didapat

Memang, ada dua hal yang kita tak pernah mendapatkannya di dunia ini, yakni kebahagiaan dan keadilan. Mau seberapa besar usaha kita mencari, kita tak akan pernah mendapatkan yang namanya bahagia. Begitu pula keadilan, sekuat apapun kita menuntut suatu keadilan, kita tak akan pernah mendapatkannya.  Memang, bahagia itu relatif. Tapi tak pernah ada bahagia yang benar-benar absolut. Bahkan, setelah kita benar-benar bahagia, beberapa waktu kemudian bisa saja terasa hambar. Atau justru muncul perasaan kecewa. Muncul perasaan sedih. Seketika itu pula, kita lupa pernah bahagia.  Begitu pula dengan keadilan, tak pernah bisa kita menegakkan keadilan yang sebenar-benarnya. Palestina misalnya, mengapa terjadi seperti itu? Mengapa banyak orang di belahan bumi tak berpihak padanya? Karena memang tak pernah ada keadilan di dunia ini. Bahkan, diri kita pun susah untuk bisa berlaku seadil-adilnya. Kebahagiaan yang sebenar-benarnya hanya akan ada di akhirat kelak. Kebahagiaan ketika dapat bert...

Menjadi Bukan Mencari

Sungguh beruntung seseorang yang memiliki teman. Teman yang memiliki pemikiran jauh ke depan, yang pemikirannya menerobos jauh hingga alam setelah kehidupan. Memikirkan segala kemungkinan yang terjadi. Memikirkan apa yang harus dilakukan dan apa yang tak boleh dilakukan. Ketika salah, ia mengingatkan. Ketika lemah, ia menguatkan. Ketika jauh, ia mendoakan.  Seorang teman akan mengajarkan hal-hal yang baik pada kita. Memberikan ilmu yang sebelumnya tak ada pada kita. Mengajarkan apapun dengan sabar. Menyediakan waktunya untuk sekadar mendengarkan.  Seorang teman akan terus melangkah searah dengan kita. Menemani dan mengiringi setiap langkah yang kita ambil. Menuju pada tujuan yang sama. Menarik kembali kita ketika hampir-hampir salah arah. Lalu kembali menggandeng pada jalan yang telah ditetapkannya. Sekarang pertanyaannya adalah, apakah kamu telah memiliki teman semacam itu. Sayangnya, pertanyaan ini tak perlu dijawab. Justru pertanyaan lain yang lebih penting adalah, apakah a...

Bagian Retak Itu

Gambar
Dapatkah sesuatu yang telah retak disatukan kembali? Akankah merapat kembali seperti semula? Bagaimana jika yang retak itu adalah kaca, ia telah remuk kupecahkan. Bisakah? Kutanyakan bekali-kali pada dinding itu. Tiba-tiba redam oleh suara hujan, lalu kembali tak peduli. Baiklah, aku memang harus mencari cara seorang diri. Kucoba merekatkannya menggunakan peralatan seadanya. Satu persatu serpihannya kuambil, lalu kutempelkan. Tanpa sadar tanganku tergores oleh beberapa serpihannya. Darah menetes sedikit dari jari kananku. Aneh, aku tak merasakan sakit sama sekali. Lalu kulanjutkan menyambungkan serpihannya satu persatu. Aku semakin terbiasa, sedikit lagi seluruh pecahannya selesai kurekatkan.  Entah mengapa perasaan ini tiba-tiba muncul. Perasaan bersalah telah memecahkan kaca ini telah berubah menjadi semangat yang menggelora untuk kembali menyatukan pecahan-pecahan itu. Sesalku telah mencapai muaranya. Aku merasa bertanggung jawab untuk merekatkannya kembali, menjadikannya utuh. ...

Bicara Cinta

Cinta, bergantung pada kita yang memaknainya. Bicara tentang cinta, salah satu puisi dari Goenawan Mohamad mengingatkanku tentang betapa luasnya makna cinta. Puisi ini ditulis oleh beliau pada tahun 1963, adalah puisi yang berjudul "Surat Cinta". Bukankah surat cinta ini ditulis ditulis ke arah siapa saja Seperti hujan yang jatuh ritmis menyentuh arah siapa saja Bukankah surat cinta ini berkisah berkisah melintas lembar bumi yang fana Seperti misalnya gurun yang lelah dilepas embun dan cahaya Puisi ini bagiku lebih kepada cinta Sang Pencipta kepada makhluknya. Di mana surat cinta ini kuartikan sebagai suatu pesan, pedoman, dan ungkapan yang diberikan pada seluruh makhluknya. Meliputi siapa saja, tak terkecuali. Sepanjang zaman, melintasi waktu demi waktu.  Kita, yang seringkali mencela cinta, adalah tersebab kita menyempitkan maknanya. Seringkali kita hanya memaknainya sebagai perasaan suka antara aku dan dia. Lalu setelah patah hatinya, kita amat membenci cinta. Padahal sela...

Si Kecil Nara

Gambar
Nara—Seorang anak perempuan berusia tujuh tahun, tinggal di pulau kecil, ujung barat negeri Fatamorgana. Ia tinggal bertiga dengan ayah ibunya. Ia seringkali mengenakan baju berwarna merah—warna kesukaannya. Hampir semua yang ia kenakan berwarna merah, sepatunya merah, ikat rambutnya merah, memakai kalung pemberian ibunya yang juga berwarna merah. Suatu pagi, Nara bosan. Biasanya pagi hari ia harus membantu ayah ibunya membereskan rumah. Ia kabur, dengan mengenakan baju merahnya, menuju pantai, tanpa sepengetahuan ayah ibunya.   Lebih baik tak memberitahukan mereka, pikirnya. Sampai di pantai, ternyata banyak teman-teman seumurannya yang sudah berada di sana. Ia langsung berlari ke arah mereka. Ikut bermain kejar-kejaran, lempar tangkap bola, dan membuat rumah-rumahan dari pasir.  Ah, menyenangkan sekali. Selama ini aku tak pernah diizinkan main pagi-pagi, gumam Nara dalam hati. Hari sudah semakin siang, matahari semakin terik. Teman-temannya satu persatu pulang ke rumahn...

Sajak Bulan Juni

Akan ada bulan-bulan lain yang lebih indah dibandingkan Bulan Juni. Tetapi buatku, Juni akan selalu kukenang. Juni beserta hujan yang turun di dalamnya, akan selalu menjadi favorit.  Hujannya Bulan Juni bukan hanya kepunyaan Eyang Sapardi. Tetapi milik kita semua. Milik siapapun yang sedang menikmatinya. Bagiku, hujan Bulan Juni memang selalu indah. Bukankah matahari yang terik bersinar setelah derasnya hujan. Bukankah tanaman akan tumbuh lebih subur karena guyuran hujan yang terus menyiraminya?  Aku percaya, bahwa hujan ini, akan menumbuhkan tanaman-tanaman yang layu. Bahkan memunculkan bunga-bunga yang indah. Menyirami tanah-tanah yang gersang. Akan ada banyak keindahan setelah hujan. Bahkan indah pelangi takkan muncul tanpa adanya hujan. Pun hujan Bulan Juni ini akan terus menjadi sesuatu yang indah. Sesuatu yang mengajarkan kita tentang arti merelakan. Seperti hujan turun Memang sudah selayaknya, memang sudah sepantasnya, kita harus semakin pandai untuk merelakan. Apa bagi...

Mengenali Diri

Tiba-tiba saja teringat kajian yang disampaikan oleh Ustaz Oemar Mita yang berjudul Journey With Quran . Salah satu hal yang disampaikan oleh beliau adalah, setiap orang memiliki ibadah yang dimudahkan oleh Allah, dan itu berbeda-beda pada setiap orang. Hal ini tidak bisa disamakan antara satu orang dengan lainnya. Setiap orang memiliki kesanggupannya masing-masing. Beliau pun menuturkan bahwa jangan pernah meremehkan amalan orang lain. Misalnya, ada orang yang kesusahan untuk melakukan amalan seperti puasa dan tahajud. Bukan berarti orang tersebut buruk. Bisa jadi amalan lain, seperti sedekah misalnya, justru memiliki nilai yang sangat besar di sisi Allah, karena nilai dari keikhlasannya yang luar biasa. Pun j angan mencela amalan orang lain, jangan mencela ibadah orang lain, yang Allah mudahkan untuknya. Bisa jadi nilai ibadah orang tersebut, justru jauh lebih berat nilainya dibandingkan dengan kita. Selain itu yang ditekankan oleh ustaz adalah, ja ngan memaksakan semua ibadah. Satu...

Tergesa

Barangkali kamu pernah. Kecewa atas sesuatu yang terjadi di luar kendalimu. Mulai menyalahkan dirimu. Menyalahkan keadaan. Menyalahkan siapapun yang ada di sekitarmu. Membenci apapun yang nampak di hadapanmu. Sampai-sampai menuduh, menyalahkan takdir. Padahal sebenarnya, kamulah yang terlalu terburu-buru. Selalu tergesa-gesa dalam segala sesuatu. Tergesa dalam menafsirkan setiap rangkaian keadaan. Tergesa dalam mengambil keputusan. Tergesa dalam menentukan tindakan.  Istirahatkanlah sejenak pikiranmu. Barangkali pikiranmu hanya sedang lelah atas semua tumpukan permasalahan. Kamu hanya perlu waktu untuk bisa berpikir lebih jauh. Berhentilah sejenak, kamu hanya perlu jeda. Barangkali dengan adanya jeda, mampu membuka pikiranmu menjadi lebih leluasa.  Barangkali selama ini kamu hanya sebatas menerka-nerka. Menyakiti perasaanmu dengan pikiran tergesamu itu.  Kamu lupa, bukankah kita sejatinya tak pernah punya kuasa mengetahui muara dari setiap kejadian yang ada. Bukankah...

Marti #3

Seorang wanita paruh baya berjalan tergopoh gopoh, matanya sembab, memasuki lorong rumah sakit. Wanita itu semakin  mempercepat langkah. Melihat kanan kiri. Lalu memasuki suatu ruangan dengan nomor 127.  "Mar..!", teriak wanita itu. Ia memeluk seorang anak yang terbaring lemas di atas ranjang kamar rumah sakit—Marti. Ia masih belum sepenuhnya sadar. Akan tetapi, kondisinya sudah semakin membaik. Setelah jatuh di halte busway, ia masih tak sadarkan diri hingga sekarang.  Wanita itu masih duduk di samping ranjang. Dengan tangannya sambil memegangi tangan Marti. Dilihatnya wajah Marti, barangkali ia akan terbangun. Namun tidak, ia belum juga terbangun. Si wanita itu masih sabar menungguinya di sampingnya.  Beberapa lama kemudian, datanglah dokter dan beberapa perawatnya. Memberikan suntikan ringan, serta menambah kadar oksigen. Tiba-tiba saja, mata Marti bergerak. Perlahan ia membuka mata. "Ibu...!", katanya pada wanita di sebelahnya.  Ternyata wanita itu adalah i...

Salah Arah #3 (Selesai)

Sepanjang perjalanan, ada beberapa percabangan yang harus kami ambil. Kami berjalan seperti biasa, berhenti sejenak, lalu kembali melanjutkan perjalanan. Berjalan melewati jalur yang cukup landai, dengan dedaunan yang cukup tebal menutup jalan. Melewati jalur yang jauh lebih sepi dibanding perjalanan menuju Pos Kandang Badak sebelumnya. Mungkin, para pendaki hanya mendaki sampai Pos Kandang Badak saja, pikir kami. Kami berjalan cukup lama, sementara hari sudah semakin sore. Langit mulai gelap. Kami harus mempercepat langkah. Kami takut kemalaman di jalan. Target kami adalah, kami harus sudah sampai di Surya Kencana, istirahat dan mendirikan tenda di sana, sebelum matahari tenggelam. Di tengah perjalanan, kami baru menyadari, ada yang aneh dalam perjalanan. Seharusnya, dengan waktu tersebut, kami sudah harus sampai di puncak. Akan tetapi, dengan waktu selama itu, kami belum juga sampai. Justru jalur pendakian sudah mulai tidak jelas, tertutup dedaunan dan ranting-ranting kering di sepan...

Salah Arah #2

Sepanjang perjalanan, kami sangat menikmati pemandangan. Berjalan pelan, sesekali berhenti untuk meneguk air ataupun membuka perbekalan makanan. Tidak lupa juga kami mengambil beberapa gambar pemandangan sekitar melalui kamera ponsel. Melewati pos satu dan pos dua, jalur pendakian masih tergolong landai. Kami berjalan cukup santai sambil mengobrol ngalor ngidul . Sampai akhirnya kami berhenti di sebuah telaga, Telaga Biru namanya. Namun sayang, saat kami ke sana, warnanya sedang tidak begitu biru.  Sepanjang perjalanan, kami bertemu para pengunjung yang ingin berwisata ke air terjun Cibereum. Air terjun yang kebetulan terletak di sekitar pos dua jalur pendakian Cibodas. Perjalanan hingga pos dua, kami tempuh selama kurang lebih dua jam perjalanan. Tiba di Shelter Rawa Denok 1, perjalanan terasa semakin berat. Jalur pendakian makin sulit dan menanjak. Sampai akhirnya, tibalah kami di tempat penghilang lelah—Pos Air Panas.  Pos ini berupa sungai seperti pada umumnya. Bedanya,...

Salah Arah #1

Desember 2019, aku dan lima orang temanku, Wek, Bul, Dry, Bay, dan Res, memutuskan untuk mendaki Gunung Gede. Kali itu, tujuan kami bukanlah puncak, melainkan Surya Kencana. Surya Kencana merupakan suatu tempat di Gunung Gede dengan sabana yang luas dan merupakan titik terdekat dengan puncak. Kami ingin sekali  camping  di sana. Mengunjungi Surya Kencana, sekaligus menjadikan pendakian ini sebagai pendakian terakhir kami sebelum berangkat ke daerah-masing masing tempat kami bekerja. Kami berencana mendaki melalui jalur Cibodas. Jalur itu merupakan jalur yang sama untuk mendaki Gunung Pangrango. Sehingga dapat dikatakan bahwa jalur itu merupakan jalur percabangan antara dua gunung, di mana percabangannya terletak di Pos Kandang Badak. Jumat malam, kami berkumpul di Jalan Otista, Jakarta Timur. Kami berkumpul dengan sudah membawa peralatan masing-masing, juga peralatan kelompok yang telah ditentukan. Tidak lupa pula kami mengecek kembali barang perlengkapan, agar segala kekurang...

Note to Myself

Hai, kamu. Sudah sejauh apa kamu melangkah? Cobalah rehat sejenak. Jangan lupa, sesekali tengoklah ke belakang. Tak apa, tak usah takut. Pasti di belakang sana ada banyak sekali luka. Tapi bukankah luka itulah yang membuatmu terus tumbuh dan terus belajar hingga menjadi dirimu sekarang. Hai, kamu. Pandanglah terus ke depan, meskipun kamu belum tahu apa yang akan berada di depan sana. Bukankah hidup memaksamu untuk terus bergerak ke depan. Jangan pernah takut dengan apa yang ada di depan sana. Lihat, kamu telah berhasil melewati banyak hal sebelumnya? Hai, kamu. Teruslah bergerak. Tak peduli langkahmu cepat ataupun lambat. Teruslah maju, jangan pernah berhenti, atau justru berbalik arah. Teruslah maju, meskipun harus merangkak. Teruslah maju, meskipun harus tertatih. Hai, kamu. Coba ingat-ingat lagi, kapan terakhir kali kamu berterima kasih pada dirimu sendiri? Atau justru belum pernah melakukannya? Cobalah ambil waktu sejenak. Berterima kasihlah pada dirimu sendiri. Katakanlah bahwa ka...

Pak, Bapak

Pak, Bapak. Maafkan putrimu yang belum bisa membahagiakanmu. Maafkan putrimu yang selalu merepotkanmu. Atau justru membuatmu susah, alih-alih membuat dirimu bahagia. Pak, Bapak. Janganlah bertambah tua. Masih banyak mimpi yang ingin putrimu tunjukkan padamu. Semoga engkau sehat selalu. Pak, Bapak. Teringat diriku dulu selalu manja di pangkuanmu. Minta digendong di atas pundakmu. Lalu dibelikan permen kesukaanku. Pak, Bapak. Putrimu janji akan kembali, setelah berhasil meraih cita-cita nanti. Tak usah engkau khawatirkan lagi. Putrimu itu bisa jaga diri. Pak, Bapak. Putrimu akan buktikan bahwa ia bisa menjadi seseorang yang berguna. Juga akan membuktikan padamu, menunjukkan padamu bahwa engkau telah berhasil mendidiknya. Pak, Bapak. Kelak, putrimu harus menemukan alasan untuk bisa berterima kasih pada dirinya. Hingga tak lagi putrimu merendahkan dirinya sendiri. Ternyata hal yang paling sulit adalah menghargai diri sendiri, Pak. Pak, Bapak. Tunggu putrimu sebentar lagi. Mimpimu satu lagi...

Selamat Pagi, Gerimis

Rindu memang menyenangkan, membuat hati sejenak lebih tenteram, pergi mengingat bayang. Namun siapa sangka, rindu mampu membuatku merana. Kata hati yang tak tersampaikan, hingga akhirnya kau berlari bersama bayang. Ditemani gerimis yang awalnya manis, kemudian turun menjadi rintik pahit sebuah kenangan.  Gerimis memaksaku singgah ke gubuk seberang. Aku duduk, termenung, menunggunya mereda. Berharap gerimis segera menghilang. Namun gerimis tak hentinya turun. Ia mengejekku, tertawa riang, menari-nari di bawah langit kelam. Gerimis lalu menjelma hujan. Seketika hujan lebat tak karuan. Ia malah menari-nari riang, membawa kilatan petir dalam tarian. Semakin aku takut, semakin ia tertawa riang. Petir menyambar bersaut-sautan. Redam, lalu sekali lagi terdengar menyambar tanpa ampun. Seketika langit semakin mencekam.  Aku terus menjerit ketakutan, berharap engkau datang meredakan hujan. Nyatanya, engkau tak kunjung datang. Aku lelah menunggu. Lalu kubiarkan saja dirimu lalu. Bukanka...