Selamat Pagi, Gerimis

Rindu memang menyenangkan, membuat hati sejenak lebih tenteram, pergi mengingat bayang. Namun siapa sangka, rindu mampu membuatku merana. Kata hati yang tak tersampaikan, hingga akhirnya kau berlari bersama bayang. Ditemani gerimis yang awalnya manis, kemudian turun menjadi rintik pahit sebuah kenangan. 

Gerimis memaksaku singgah ke gubuk seberang. Aku duduk, termenung, menunggunya mereda. Berharap gerimis segera menghilang. Namun gerimis tak hentinya turun. Ia mengejekku, tertawa riang, menari-nari di bawah langit kelam. Gerimis lalu menjelma hujan. Seketika hujan lebat tak karuan. Ia malah menari-nari riang, membawa kilatan petir dalam tarian. Semakin aku takut, semakin ia tertawa riang. Petir menyambar bersaut-sautan. Redam, lalu sekali lagi terdengar menyambar tanpa ampun. Seketika langit semakin mencekam. 

Aku terus menjerit ketakutan, berharap engkau datang meredakan hujan. Nyatanya, engkau tak kunjung datang. Aku lelah menunggu. Lalu kubiarkan saja dirimu lalu. Bukankah engkau telah menjelma bayang, yang tak mungkin lagi kugenggam, apalagi datang.

Tiba-tiba saja kau datang menghampiriku, hujan seketika hilang. Sekejap mata langit kembali benderang. Aku melayang jauh ke atas awan. Hangat dan lembut seperti sebuah pelukan. Berharap engkau terus berada di sini menghentikan hujan, menemaniku ketika ketakutan. Ah, sial! Semua itu hanyalah kenangan. Aku kembali terbangun dalam sebuah kenyataan. Mendapati diriku sendirian, memandangi gerimis pagi dalam kesunyian.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mari Kita Mulai

Kelopak Bunga Terakhir

Salah Arah #1