Marti #3
Seorang wanita paruh baya berjalan tergopoh gopoh, matanya sembab, memasuki lorong rumah sakit. Wanita itu semakin mempercepat langkah. Melihat kanan kiri. Lalu memasuki suatu ruangan dengan nomor 127.
"Mar..!", teriak wanita itu. Ia memeluk seorang anak yang terbaring lemas di atas ranjang kamar rumah sakit—Marti. Ia masih belum sepenuhnya sadar. Akan tetapi, kondisinya sudah semakin membaik. Setelah jatuh di halte busway, ia masih tak sadarkan diri hingga sekarang.
Wanita itu masih duduk di samping ranjang. Dengan tangannya sambil memegangi tangan Marti. Dilihatnya wajah Marti, barangkali ia akan terbangun. Namun tidak, ia belum juga terbangun. Si wanita itu masih sabar menungguinya di sampingnya.
Beberapa lama kemudian, datanglah dokter dan beberapa perawatnya. Memberikan suntikan ringan, serta menambah kadar oksigen. Tiba-tiba saja, mata Marti bergerak. Perlahan ia membuka mata. "Ibu...!", katanya pada wanita di sebelahnya.
Ternyata wanita itu adalah ibunya. "Naaak", teriak si wanita itu sambil meneteskan air mata. "Ibu, jam berapa ini?", kata Marti. "Jam 7 malam, Nak!". Mata Marti tertuju pada jam di dinding. Benar sekali kata ibunya. "Bu, maafkan Marti. Tak menepati janjimu, pulang sebelum petang". Sang ibu menangis semakin keras, "Bicara apa kau ini, tidak penting, yang penting sekarang kamu sehat, Nak!", rintih si Ibu. Si ibu lantas memeluknya semakin erat.
Penyakit anemia yang diderita Marti membuat dirinya terkadang pingsan secara tiba-tiba. Itulah mengapa ibunya selalu khawatir jika ia pergi sendirian. Namun, hari itu, Marti ingin sekali pergi sendirian. Ia ingin menikmati kesendirian seperti orang-orang lainnya, jalan-jalan tanpa khawatir tak ada orang di sekitarnya. Di hari itu, ia butuh waktu menyendiri.
Marti menyesal tak mendengarkan ibunya. Tidak bisa menepati janjinya pulang sebelum petang. Sore hari yang pikirnya masih lama, ternyata berjalan secepat itu. Bahkan ia melewatkan sore hari tanpa sadarkan diri.
Terkadang, tak semua janji bisa kita tepati. Akan tetapi, kita bisa berhati-hati atas janji itu. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.
Memang, soal rencana, kita yang menentukan. Tetapi soal takdir, kita tak punya kuasa.
Komentar
Posting Komentar